Seperti Sedia Kala™

Bukan, bukan dia..
Posting ini saya tulis sejak 15 Mei yang lalu, tapi baru sempat diselesaikan dan dipublish hari ini. Moga-moga belum terlalu BasBang!

Makassar sudah kembali seperti sedia kala. Mungkin masih cukup berat, tapi mestinya sudah normal kembali. Memang masih ada perasaan risih, apalagi ketika ada orang-orang chinese yang berpapasan, lewat, dan mondar-mandir di tengah keramaian dan bertemu dengan orang-orang non-chinese. Entah hanya perasaan saya atau memang demikian adanya, tapi situasi sudah berangsur normal dalam dua-tiga hari terakhir ini. Ekonomi sudah bangun lagi, semua sudah seperti sedia kalaâ„¢

Satu hal yang saya selalu diskusikan bersama keluarga, apa sih, dan bagaimana sih sebenarnya bentuk ideal dari ‘pembauran’ itu sendiri. Apakah karena perbedaan warna kulit semua harus berbeda? Dewasa ini sudah banyak orang non-chinese yang berperilaku sangat chinese, sementara orang chinese yang berperilaku sangat non-chinese. Dalam keseharian pun, ketika isu rusuh dan ganyang muncul, rekan-rekan yang non-chinese turut merasakan dampak dengan tutupnya ratusan toko dan mencekamnya suasana kota. Itulah indahnya keberagaman, ketika semua turut merasakan apa yang dirasakan oleh sebagian. Semoga ini disadari semua pihak, daripada saling sikut, mending saling sayang.

Di sisi orang chinese sendiri, orang chinese harus belajar untuk ‘turun’ (entah apa istilah yang tepat). Kerjakan berbagai bidang yang dahulu tidak disentuh orang-orang chinese. Jadilah polisi, politisi, pengacara, tentara, PNS, atau profesi/pekerjaan lainnya. Belakangan ini fenomena seperti ini sudah mulai tampak. Sudah ada pegawai-pegawai supermarket, teknisi, bahkan PNS yang chinese. Khususnya untuk Makassar, hal ini sangat penting. Sebab sangat jarang orang chinese di Makassar yang terjun dalam bidang lain selain berdagang. Guru misalnya, sangat jarang guru chinese di sini. Di 10 sekolah negeri yang menjadi klien kami di kantor, tak ada satupun gurunya yang berlatar chinese. Ini mungkin juga disebabkan umumnya guru di sekolah negeri itu adalah PNS. Tak usah jauh-jauh, di sekolah tempat istri saya mengajar, yang notebene adalah sekolah Kristen, yang Yayasannya adalah dari salah satu Gereja berlatar Tionghoa terbesar di Makassar, jumlah guru yang chinese dapat dihitung dengan jari. Itupun ada yang guru bahasa Mandarin. Situasi yang sangat berbeda dengan kampung halaman istri saya. Di Bangka, menurut cerita istri saya, pembauran lebih terasa. Tidak sedikit jumlah orang chinese yang menjadi guru, pegawai, tukang, bahkan ada yang menjadi pembantu rumah tangga.

Seharusnya, orang chinese turut berjuang bersama seluruh golongan masyarakat, tidak ekslusif sendiri dan melihat suku lain dengan sebelah mata. Memang setiap suku punya rasa kebanggaan tersendiri (chauvinisme KTS), tidak usah dipungkiri. Tapi justru ketika kita berusaha meminimalkan kebanggaan itu, maka kita akan menjadi orang yang lebih rendah hati, lebih dapat diterima oleh semua pihak. Daripada semua menonjol dan akhirnya bertengkar, lebih baik semua saling hormat dan akhirnya semua senang.

2 Replies to “Seperti Sedia Kala™”

  1. mungkin ini sisa-sisa trauma jaman dulu atau memang akan terus di lestarikan hal-2 spt ini oleh pihak-2 tertentu.

    Anywat, keberagaman itu indah..layaknya pelangi kemaren sore

Leave a Reply