Seletah berkomentar di weblog Rara, jadi tergugah untuk nulis dikit.
Mahasiswa. Kebanyakan (kalau tidak mau dikatakan semua) aksi bernuansa SARA atas nama demonstrasi dua tiga hari ini di Makassar, semua dilakukan oleh Mahasiswa. Bukan orang yang mengaku sebagai mahasiswa, tapi memang mahasiswa dari berbagai Universitas yang ada di Makassar. Mereka yang mulai dari berorasi, hingga konvoi dan melakukan sweeping atas nama demonstrasi. Kata-kata seperti ada pelanggaran HAM-lah, penegakan Hukum-lah, keadilanlah.. Semua itu mereka pakai untuk membenarkan tindakan mereka.
Yang mengerikan, inilah, para rasis inilah masa depan kita. Apa jadinya Makassar dalam 10 tahun ke depan? 20 tahun ke depan? Inilah wajahnya, dalam wajah-wajah para perusuh intelektual saat ini. Sedih.
Saya sebagai orang tua, kemudian bertanya-tanya, inikah masa depan anak saya? Tidak heran beribu orang yang lari keluar dari Indonesia, bersusah payah di negeri orang, agar bisa lolos dari masa depan yang suram ini. Sebagai orang tua juga, saya jadi bertanya, bagaimana sih sesungguhnya pendidikan di Indonesia? Tidak heran beribu orang berusaha menyekolahkan anak-anak mereka di luar negeri. Mungkin saya berpikir terlalu jauh, sedikit paranoid dan mengada-ada. Saya pikir, ini semua ekses dari kekesalan dan kecemasan akibat situasi Makassar sekarang.
Kota Makassar hari ini, lagi-lagi mati. Sejak pagi hingga siang ini, minimal Jl. Somba Opu di sekitar rumah saya, sangat sunyi. Tidak seperti biasa. Toko-toko umumnya tutup, atau buka MMK, lalu lintas sepi, puluhan polisi berjaga-jaga dan akhirnya menjadi warga Somba Opu dadakan. Lagi-lagi ekonomi hari ini mati dan tidak bergairah. Sayapun akhirnya tidak ke kantor, sebab kekuatiran hari Jumat ini lebih parah dari hari lain. Sampai kapan? Minggu juga dicurigai, Senin.. Mungkin hari senin situasi sudah tenang kembali. Tapi, lagi-lagi mungkin. Mungkin juga mereka belum puas kalo belum ada darah sebagai bayaran? atau api yang membakar? atau ribuan kaca yang pecah? Entah.
Anyway, terima kasih untuk komentar teman-teman di weblog saya ini. Mudah-mudahan saya makin rajin dengan adanya kunjungan dari semua. 😀
hhhmm jadi kepikiran juga yah, kalo gw punya anak, apa harus gw besarkan di Indonesia?
selama pemerintah masih membiarkan aksi-aksi seperti itu, kalo punya duit pindah aja ke negara yang bisa memberikan rasa aman kepada setiap warganya.
Besarkan anak di luar negri? Please deh, mungkin lebih baik kalo masyarakat yang bilangnya (kebanyakan lebih banyak dr provokator2 itu) turun ke jalan dan menjewer mahasiswa2 yang nakal2 itu. Bisanya cuma orasi2 dan BOLOS kelas. Di Indonesia, aktivis bisa mendapat keringanan2 dan lulus dengan nilai pas2an (yang penting ga DO kata mereka) dengan beraksi dan demo2. Akibatnya pendidikan tidak dipentingkan.
Saya mengenal salah satu aktivis dari universitas di Surabaya, sewaktu disidang buat skripsi-nya, dia ga bisa jawab satu pertanyaan pun! Yang ada malah bibir gemetar n ketakutan getu disidang dosen2 yang sering ditemui dan minta ijin beraksi demo. Harusnya para dosen lebih tegas, tidak datang ke kelas beberapa kali kena sanksi tidak lulus (75% attendance kalo disini) plus harus selalu hadir untuk mid-test, lab report, dan exam. Tidak hadir tanpa surat sakit dari dokter berarti nilai nol dan tidak bisa diganggu gugat. Kalo dosen tidak berwibawa seperti ini, bagaimana mendidik para mahasiswa itu?
Siapa yang mau menerima pekerja yang lulusan mahasiswa yang suka minta ijin buat demo? Get a real life!
BTW mahasiswa yang disidang itu akhirnya saya dengar cuma kerja buruh, ngga sesukses mahasiswa2 lainnya yang menjadi dosen, dapat beasiswa ke luar negri(bea siswa luar negri ga menerima mahasiswa berdasarkan kerajinannya untuk mengikuti demo2), ataupun menjadi entrepreneur.
#3 menulis :
BTW mahasiswa yang disidang itu akhirnya saya dengar cuma kerja buruh, ngga sesukses mahasiswa2 lainnya yang menjadi dosen, dapat beasiswa ke luar negri(bea siswa luar negri ga menerima mahasiswa berdasarkan kerajinannya untuk mengikuti demo2), ataupun menjadi entrepreneur.
Yap, hidup itu memang pilihan.